Tuesday 21 May 2013

Penghapusan UN Dapat Mengancam Pendidikan - Tribun Pekanbaru

Penghapusan UN Dapat Mengancam Pendidikan - Tribun Pekanbaru

Penghapusan UN Dapat Mengancam Pendidikan
Tribun Pekanbaru - Selasa, 21 Mei 2013 10:29 WIB
Laporan: Hendra Efivanias TRIBUNPEKANBARU.COM, PEKANBARU - Kepala Bidang TK dan SD Dinas Pendidikan (Disdik) Kota Pekanbaru, Naguib Nasution SPd menganggap penghapusan Ujian Nasional (UN) SD jika benar-benar diterapkan perlu memikirkan sejumlah hal. Termasuk diantaranya menyangkut standar nasional pendidikan.

Saat ditanyai Tribun, Senin (20/5), Naguib mempertanyakan cara menentukan standar mutu nasional kalau evaluasi belajar SD diserahkan sepenuhnya ke daerah. Kecuali jika kisi-kisi soalnya masih disediakan dari pemerintah pusat. Tapi kalau kisi-kisi-nya pun ditetapkan daerah, ia yakin banyak masalah yang akan muncul.

Menurut dia, UN selama ini berfungsi untuk menguji mutu pendidikan secara nasional. Karena kalau standar mutu nasional tak bisa ditentukan, negara akan sulit memposisikan diri dalam persaingan kualitas pendidikan global atau dunia.

Hal ini dianggapnya penting untuk diperhatikan.  Karena kemajuan teknologi selalu bersumber dari kualitas pendidikan. "Kecuali kita ingin hidup ke zaman dulu lagi," ungkapnya. Karena itu perlu ada modal untuk mencapai kemajuan. Diantaranya dengan menciptakan sumberdaya berkualitas yang dihasilkan oleh pendidikan yang baik.

Selanjutnya, Naguib beranggapan penghapusan UN berkemungkinan bisa menjadi langkah awal tidak diperlukannya lagi kurikulum nasional. Padahal kurikulum nasional adalah salah satu upaya politik pendidikan untuk menyatukan dan mempersatukan bangsa. Sehingga masyarakat berada pada koridor kebangsaan yang sama. "Misalnya,  mempelajari dan mengakui sejarah nasional yang sama," ungkapnya.

Menurut dia, tanpa evaluasi yang jelas, kurikulum nasional berpeluang ditinggalkan. Setiap daerah akan terbuka peluangnya untuk menyusun materi ajar sesuai keinginannya masing-masing. Kalaupun kurikulum tetap diterapkan, tanpa evaluasi nasional akan sulit memastikan bahwa pengajaran yang diberikan di daerah tidak menyimpang dari arah pendidikan nasional.

Meletakkan evaluasi pembelajaran ke daerah masing-masing juga berpotensi memunculkan perasaan subjektif dari guru maupun sekolah yang tidak ingin siswanya tak lulus. Sehingga, mesti siswanya tidak mampu lulus justru diluluskan demi menjaga nama baik sekolah.

Disamping itu, aspek kejujuran juga akan semakin sulit didapatkan ketika evaluasi diserahkan sepenuhnya pada daerah. Bahkan, pelaku ketidakjujuran itu bisa bergeser dari yang sebelumnya oleh oknum dari luar sekolah justru dilakukan oknum guru atau kepala sekolah. Apalagi, sistem ini semakin membuka peluang guru mempermudah siswanya agar lulus. "Terlebih jika menyangkut nama baik sekolah atau kepala daerah," kata Naguib.

Dalam pemaparannya, Naguib memang tidak menampik bahwa UN juga memiliki dampak negatif. Tapi dampak negatif itu lebih cenderung disebabkan teknis pelaksanaan yang kurang bagus. Misalnya, pencetakkan soal yang tersentralisasi yang membuat pelaksanaan UN terganggu.

Namun, ia berharap masyarakat jangan hanya melihat hal negatif dari UN saja. Semestinya, masyarakat mengaitkan dengan hal-hal positif. Misalnya, dengan UN, motivasi dan keinginan siswa untuk belajar semakin meningkat. Disamping itu, siswa juga terdorong mendekatkan diri dengan Tuhan setelah dia belajar. Buktinya, jelang UN, banyak sekolah yang menggelar doa bersama agar siswa menyerahkan segalanya pada Tuhan.

Sementara itu, Disdik Provinsi Riau mengaku belum menerima Peraturan Pemerintah (PP) yang mengatur penghapusan UN tingkat SD mulai tahun 2014 mendatang. Disdik berharap, penghapusan itu tidak serta merta mentiadakan sistem evaluasi pembelajaran di tingkat pendidikan tersebut.

Saat ditemui Tribun Kepala Bidang Pendidikan Dasar, Pendidikan Luar Sekolah dan SLB Disdik Riau, Aswandi SE mengaku belum menerima PP itu. Biasanya, kalau ada perubahan, PP akan disampaikan pemerintah pusat ke provinsi. Selanjutnya, provinsi meneruskannya ke Disdik kabupaten/kota untuk selanjutnya disampaikan ke masing-masing sekolah.

Diterangkan dia, implikasi dari kebijakan ini, siswa lulusan SD yang akan masuk SMP sederajad tak lagi menggunakan nilai kelulusan. Pasalnya, dengan adanya program wajib belajar 9 tahun, baik SD maupun SMP sederajad masih tergolong dalam pendidikan dasar.

Meski demikian, Aswandi berharap kebijakan ini disertai dengan pengaturan pola evaluasi belajar siswa. Bahkan, untuk menghilangkan anggapan subjektif ketika penilaian siswa sebagaimana dikuatirkan sejumlah kepala sekolah, ia menilai perlu ada aturan yang mengikat. "Harus ada rambu-rambu tersendiri terkait prestasi anak. Termasuk melibatkan Disdik kabupaten/kota pada penilaian hasil pembelajaran," ungkap dia.

Aswandi tak menampik, evaluasi pembelajaran yang diserahkan ke daerah bisa kurang objektif. Apalagi setiap sekolah tentu berlomba membuat siswanya lulus dengan baik. Karena itu perlu ada campur tangan Disdik pada proses evaluasi akhir.

Evaluasi ini menurutnya harus tetap ada meskipun UN dihapus. Karena tanpa evaluasi, maka akan sulit mengukur keberhasilan pembelajaran yang dilakukan siswa-siswa di sekolah semasa menempuh pendidikan SD. (*)

Penulis : Hendra Eifivanias
Editor : zid

No comments:

Post a Comment